PEMERINTAH
DIMINTA CABUT IZIN PERUSAHAAN PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DIJAMBI
Kawasan Hutan Lindung Gambut
Londerang, Kabupaten Tanjungjabung Timur, Provinsi Jambi yang kritis akibat
kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 kini terbakar kembali sekitar 90% dari
12.500 hektar hutan lindung gambut yang kini dikelola Restorasi Ekosistem (RE)
World Wildife Fund (WWF) Indonesia itu hangus terbakar selama kemarau tiga
bulan terakhir atau sejak Juli-September 2019.
Radesman Saragih / JEM Senin, 16
September 2019| 15.45 WIB
Jambi,
Beritasatu.com -
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) diminta segera mencabut izin
perusahaan – perusahaan dan lembaga restorasi yang mengelola hutan dan lahan
gambut di Provinsi Jambi. Pencabutan izin itu perlu dilakukan menyusul
ketidak-mampuan perusahaan – perusahaan dan lembaga restorasi di daerah itu
mencegah dan menanggulangi hutan dan lahan gambut yang mereka kuasai dari
kebakaran.
“Penyegelan
yang telah dilakukan Menteri KLHK, Siti Nurbaya terhadap areal gambut yang terbakar
di Jambi perlu ditindaklanjuti dengan pencabutan izin perusahaan dan lembaga
pengelola gambut tersebut. Kemudian pencabutan izin itu hendaknya diikuti juga
dengan proses hukum terhadap unsur manajemen perusahaan dan lembaga pengelola
gambut tersebut,”kata Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi
Jambi, Rudy Syaf di Jambi, Minggu (15/9/2019).
Menurut Rudy
Syaf, kebakaran hutan dan lahan gambut yang dikuasai perusahaan maupun lembaga
restorasi harus dipertanggung-jawabkan pihak perusahaan dan lembaga yang
bersangkutan kendati kebakaran hutan dan lahan tersebut berasal dari luar areal
mereka. Karhutla di areal gambut menjadi tanggung jawab perusahaan dan lembaga
restorasi sesuai dengan aturan pemerintah.
Dijelaskan,
berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor PP 57 tahun 2016 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, tinggi muka air gambut minimal
40 centimeter (cm) dari permukaan gambut. Namun kenyataannya hingga kini,
pengaturan muka air gambut masih belum bisa dipatuhi, sehingga gambut kembali
menjadi sangat kering dan mudah terbakar di musim kemarau ini.
Kemudian,
lanjut Rudy Syaf, berulangnya kebakaran di hutan dan lahan gambut yang dikuasai
perusahaan dan lembaga restorasi mengindikasikan perusahaan dan lembaga
restorasi tak mampu mengelola gambut. Seharusnya perusahaan dan lembaga
restorasi mematuhi aturan untuk mengelola gambut guna mencegah kebakaran.
Kemudian perusahaan dan lembaga restorasi juga wajib menyediakan peralatan
pengendalian kebakaran dan sumber daya manusia.
“Berulangnya
kebakaran gambut di lahan perusahaan dan lembaga restorasi di Jambi ini
menunjukkan bahwa perusahaan dan lembaga restorasi pengelola gambut tidak mampu
mengamankan areal gambut yang mereka kuasai dari kebakaran. Atas kelalaian
tersebut pihak perusahaan dan lembaga restorasi gambut perlu mendapat sanksi
hukum,”katanya.
Rudy Syaf
lebih lanjut menjelaskan, total luas hutan dan lahan yang terbakar di Provinsi
Jambi sejak Januari – September 2019 mencapai 18.000 hektare (ha). Kebakaran
hutan dan lahan paling luas terjadi medio Agustus – September ini. Kebakaran
hutan dan lahan di kawasan restorasi gambut, termasuk di areal gambut yang
dikelola Restorasi Ekosistem (RE) World Wildlife Fund (WWF) di Desa Londerang,
Kabupaten Tanjungjabung Timur, Jambi.
Sementara itu
Direktur Eksekutif Walhi Jambi, Rudiansyah mengatakan, kebakaran yang terjadi
di hutan lindung gambut yang dikelola lembaga restorasi, WWF, BRG, Millenium
Challenge Account-Indonesia (MCAI) di Desa Londerang, Kecamatan Berbak,
KabupatenTanjungjabung Timur, Jambi menunjukkan kegagalan lembaga tersebut
dalam program restorasi gambut.
“Kegiatan
restorasi Badan Restorasi Gambut (BRG) dengan mitranya,WWF dan MCAI tampak
tidak berjalan baik. Lembaga-lembaga restorasi tersebut tidak mampu mencegah dan
mengendalikan kebakaran di hutan dan lahan gambut. Pembangunan infrastruktur
sumur bor dan sekat kanal yang mereka lakukan tidak mampu menyelematkan gambut
dari kebakaran,”katanya.
Rudiansyah
mengatakan, lembaga restorasi di Jambi tidak mampu mencegah dan mengendalikan
kebakaran hutan dan lahan gambut juga disebabkan tidak kurangnya pengawasan
pemerintah. Selama ini pemerintah (KLHK) tidak melakukan audit kepatuhan
terhadap lembaga restorasi. Di antaranya pemeriksaan tentang tersedianya alat
pemadam kebakaran, sumber daya manusia dan program antisipasi kebakaran lembaga
restorasi. Kurangnya pengawasan tersebut membuat lembaga restorasi lalai dan
akhirnya kewalahan menghadapi kebakaran gambut.
“Terkait
kelalaian lembaga resorasi tersebut mencegah kebakaran gambut tersebut tentunya
pihak pemerintah perlu menjatuhkan sanksi hukum yang tegas,”katanya.
Sementara itu
Kepala Bidang (Kabid) Humas Polda Jambi, Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol)
Kuswahyudi Tresnadi mengatakan, Polda Jambi terus mengintensifkan penanganan
kasus karhutla. Jumlah tersangka pelaku pembakaran hutan dan lahan yang ditahan
dan diperiksa jajaran kepolisian di Jambi saat ini sudah mencapai 19 orang.
Sebagian kasus karhutla tersebut sudah memasuki tahap pelimpahan berkas ke
pihak kejaksaan.
Dijelaskan,
kasus karhutla yang ditangani Polda Jambi satu kasus dengan satu orang
tersangka. Polres Batanghari menangani menangani satu kasus karhutla dengan dua
tersangka. Kemudian Polres Muarojambi menangani tiga kasus dengan tiga
tersangka, Polres Tanjungjabung Barat tiga kasus dan tiga tersangka, Polres
Tanjabtim menangani dua kasus dengan lima tersangka, Polres Bungo menangani
satu kasus dengan tiga tersangka dan Polres Tebo menangani tiga kasus dan tiga
tersangka.